Rahmatul Ummah
-
Saat ini berkembang kebiasaan mengagumi
diri sendiri secara berlebihan dan merasa paling benar, paling pintar dan
cerdas, paling gagah, paling baik, paling keren, paling alim dan paling lainnya.
Kebiasaan ini tanpa disadari akan mengikis sikap toleransi, menghargai dan
memahami orang lain.
Orang lain diinginkan menjadi bayangannya,
dan bila tak meniru dianggapnya tak baik dan tak keren. Intinya mereka yang
terjangkiti virus kegaguman berlebihan terhadap diri sendiri, menginginkan gaya,
perilaku dan pemikirannya menjadi referensi utama.
Gejala yang paling mudah untuk mendeteksi
kebiasaan seperti ini adalah sikap anti-kritik, atau sikap bertahan dengan
melakukan pembenaran-pembenaran atas kebiasaan tersebut, atau jika dikritik
maka akan melakukan kritik balik. Semisal, jika ia dikritik "Pekerjaan ini akan lebih sempurna,
bila...?", maka ia akan membalas, "Emangnya kamu sudah melakukan apa?"
Sikap selalu merasa "paling" ini
sering dikenal dengan istilah ego atau keakuan. Menurut Jeffrey Nevid (2005;
40-45), ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri,
diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi
frustrasi. Ego diatur oleh prinsip realitas yang berkaitan dengan apa yang
praktis dan mungkin, sebagai dorongan dari id.
Ego terikat dalam proses berpikir sekunder -mengingat, merencanakan, dan
menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dunia luar. Ego
meletakkan dasar untuk perkembangan yang disadari tentang perasaan diri sebagai
individu yang berbeda.
Sigmund Freud mengatakan bahwa ego
merupakan satu bagian dari aparatus psikis dalam model struktur jiwa, dua
bagian lainnya id adalah himpunan
tren insting tidak terkoordinasi, ego adalah bagian, terorganisir realistis,
dan super-ego memainkan peran kritis dan moral. Dominasi ego, akan melahirkan
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan yang berpeluang lahir dari ego
adalah menganggap orang lain atau pendapat lain sebagai pihak yang mengancam.
Ego seperti ini akan sangat berbahaya,
jika beranggapan orang lain dan kelompok lain sebagai ancaman, karena akan
selalu melahirkan ketegangan-ketegangan baru, sehinga menjadikan hubungan atau
relasi kemanusiaan tidak berjalan normal, dan sikap untuk meniadakan dan
memusnahkan adalah hal yang paling berbahaya dari sifat ego ini.
Ali Syariati mengategorikan ego sebagai
penjara yang sangat berat bagi manusia karena ia berada dalam diri. Bangkit
dari penjara yang ada dalam diri merupakan tugas yang sangat menantang,
terutama sekali pada abad ilmu dan teknologi sekarang ini. Belum pernah
sebelumnya manusia begitu lumpuh, lesu, dan tanpa harapan dalam penjara ini.
Dalam penjara ego tentunya sangat jauh berbeda dengan penjara yang lain, karena
manusia mengalami abdsurditas. Absurditas yang dirasakan manusia tidak lepas
dari setelah pemenuhan segala hasrat, nalurinya. Pemenuhan instinsif manusia
mengantarkan manusia pada kelupaan dimensi dalam diri yang paling sublim yakni
realitas rohani.
Kekaguman terhadap sikap sendiri ini dalam
bahasa agama disebut ujub yang
mengarah takabur, dan dalam pergaulan
dikenal dengan istilah narsis. Narsis ini melahirkan kecongkakan, spiritualitas
narsis, intelektual narsis, yang intinya menghilangkan kekaguman dan kebanggaan
selain kekaguman terhadap diri sendiri.
Kekaguman terhadap diri sendiri atau narsisisme
pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud (1914) merujuk pada
tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga
ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa
cinta dan kegamuman akan dirinya sendiri, hingga ia mati tenggelam ketika
hendak mengulurkan tangan hendak meraih bayangannya sendiri.
Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia
sejak lahir, bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa sifat narsis yang cukup
akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhan dalam
hubungannya dengan orang lain. Narsisisme memiliki sebuah peranan yang sehat
dalam artian membiasakan seseorang untuk berhenti bergantung pada standar dan
prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia. Namun apabila jumlahnya
berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian yang bersifat patologis.
Seseorang yang narsis biasanya memiliki
rasa percaya diri yang sangat kuat, namun apabila narsisme yang dimilikinya
sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri
yang kuat tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang
tidak sehat, karena hanya memandang dirinya sebagai yang paling hebat dari
orang lain tanpa bisa menghargai orang lain.
Selain itu, seseorang dengan sifat narsis
yang berlebihan memiliki kecenderungan untuk meninggikan dirinya di hadapan
orang lain, menjaga harga dirinya dengan merendahkan orang lain, bahkan tidak
segan untuk mengasingkan orang lain untuk memperoleh kemenangan.
Mengoreksi Diri
Manusia, sebagaimana hakikatnya bukanlah
makhluk yang dilahirkan dan dikehendaki sempurna oleh Tuhan, meskipun
penciptaannya dengan sebaik-baik bentuk (ahsanu
al taqwim), pengakuan manusia sebagai makhluk yang gemar berkeluh kesah,
salah dan lupa, dan pemberian ruang permaafan atas segala kelalaian, menjadi
penunjuk jelas, bahwa yang diperlukan adalah tingkat kesadaran untuk mengambil
pelajaran dari setiap perjalanan kesalahan-kesalahan menuju pada kebenaran-kebenaran
yang dinamis dan tak pernah selesai.
Ali Syariati menilai pada dasarnya manusia
lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan ruh suci. Dalam bahasa
manusia tanah (lumpur) adalah simbol kerendahan, kenistaan serta kekotoran. Dan
tidak ada satu pun dalam alam semesta ini yang paling rendah dan hina selain
dari pada lumpur. Di sisi lain dalam bahasa manusia, Tuhan adalah Maha Sempurna
dan Maha Suci, dan dalam setiap makhluk bagian yang paling sempurna, paling
murni dan paling suci adalah spirit Maha Sempurna.
Manusia adalah makhluk dua dimensi yang
membedakannya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, yang hanya diciptakan
dalam satu dimensi. Manusia adalah sintesa dari dua dimensi tersebut, sehingga
dari dua sintesa inilah kemudian manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan
hidup apakah manusia ingin menuju kepada kerendahan, kenistaan atau menuju
kepada kesempurnaan. Ketika manusia cenderung kepada ruh ilahi, dia memilih regersif menuju dan “menyatu dengan tuhan” tetapi
jika manusia cenderung kepada tanah, maka dia mengalami kerendahan dan
kehancuran. (*)
0 Comments:
Posting Komentar