Rahmatul Ummah
-
Kegilaan bukan hanya diacu pada
kondisi mental, deviasi kejiwaan atau gangguan afektif, yang mengakibatkan
relasi yang tidak baik antara indra dan afeksi (perasaan/emosi). Kegilaan
juga bisa diacu pada identitas dalam kehidupan sosial, kenormalan yang dianggap
disfungsi. Sebutlah, seseorang politisi yang menolak praktik politik
transaksional, akan dianggap abnormal atau tak lazim. Anggapan
disfungsionalitas itu mengacu pada perilaku yang menyimpang dari ‘keumuman’
atau mayoritas anggota kelompoknya.
Realitas politik yang tidak lagi
menabukan tindakan-tindakan nir-moral justru dianggap sebagai kenormalan, dan
sebaliknya orang yang berjuang menjaga integritas dan moralnya dianggap
menyimpang dan tak waras. Dalam politik hari ini, isi tas dianggap lebih
penting dari moralitas dan integritas.
Dulu, Pythagoras pernah menyerukan
sumpah jabatan. Ia meminta kepada seluruh politikus dan ilmuwan bersedia
diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya secara benar.
Pythagoras ingin membangun semangat menjaga moralitas jabatan, yaitu pengabdian
dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian dipraktikkan dari zaman ke zaman,
semangatnya kurang lebih sama; menyatakan kesanggupan untuk tidak mementingkan
diri sendiri, mengabdi kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat luas.
Politisi tentu tak menolak praktik
sumpah jabatan itu, di bawah kitab suci dengan penuh hikmat mereka berikrar,
bersumpah atas nama Tuhan akan menjaga amanah jabatan itu.
Namun, apakah mereka menganggap
sumpah sebagai hal yang sakral? Faktanya, dengan semakin banyak pejabat yang
ditangkap dan diadili, menunjukkan bahwa bahwa mayoritas mereka adalah
pengkhianat atas ikrar dan sumpah yang telah diucapkan.
Sumpah seyogianya menyiratkan makna
substantif dalam rangka usaha membina penyelenggara negara yang bersih, jujur,
dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi
masyarakat. Dan paling penting adalah sebagai pernyataan kesanggupan untuk melakukan
suatu keharusan atau tidak melakukan suatu larangan. Sumpah sebagai sesuatu
yang bernilai spiritual, mengandung konsekuensi yang astral.
Disfungsi sosial lewat laku
pengkhianatan seperti itu bukanlah pertunjukan langka. Ironisnya, dianggap
biasa-biasa saja. Bahkan, sebagai pejabat mereka tetap mendapatkan penghormatan
meski diketahui berkali-kali khianat.
Suatu masa, mereka membaur dengan
rakyat jelata, mendatangi pasar, tempat-tempat kumuh, blusukan hingga
pelosok kampung, naik becak atau berjalan kaki, makan singkong atau nasi aking,
setelahnya mereka dengan bangga memuji diri sendiri sebagai sosok yang peduli,
mendengar dan bekerja. Dan rakyat percaya.
Di lain waktu, mereka menampilkan
wajah dengan senyum asimetris di setiap sudut kota, perempatan hingga gang-gang
sempit, menawarkan slogan kesejahteraan, kebahagiaan dan kejayaan.
Kegilaan sepertinya memang bukanlah
entitas yang statis, melainkan memiliki properti yang dinamis. Dulu, mereka
yang memiliki kepribadian ganda, seringkali memanipulasi tindakan,
senyum-senyum tak jelas dianggap seagai kegilaan, sekarang dianggap sebagai hal
lumrah, tuntutan politik!
Properti kegilaan yang dinamis ini
menunjukan hubungan erat antara kegilaan dengan struktur sosio-politik.
Kegilaan secara ekstrem tidak lagi bisa dirujuk pada sekadar gangguan mental,
deviasi nalar atau perbuatan tidak normal. Kegilaan adalah apa yang dinilai
oleh mayoritas sebagai ketidaknormalan. Maka, menjadi gila atau tidak gila akan
bergantung pada berapa jumlah pihak yang menilainya mengalami
disfungsionalitas.
Tak heran, bila ada manusia yang selalu menakar orang lain dengan materi berdasar isi kepalanya, karena barangkali kecenderungan ‘normal’ yang diimaninya saat ini adalah hanya ‘orang gila yang tak bisa diukur dengan materi’. (*)
0 Comments:
Posting Komentar