Rahmatul Ummah
-
Banyak orang menganggap bahwa ia telah melakukan
pekerjaan besar, karena telah membincangkan sebuah pekerjaan besar. Sukses membangun
Indonesia karena telah menggelar seminar akbar tentang Indonesia. Melakukan
kebenaran karena telah membaca banyak buku filsafat dan logika (mantiq), serta
telah berhasil menjelaskan dan merumuskan kebenaran.
Kata-kata tentu saja bukanlah keyakinan alih-alih
dikategorikan perbuatan (amalan). Tak sedikit orang yang mengatakan hal di luar
keyakinannya, pun tak sulit menemui orang yang mahir berkata-kata tetapi tak
piawai bertindak. Lugas membincangkan kesetaraan, tapi juga cekatan memancangkan sikap
superior.
Paradoks. Mayoritas manusia memang lahir dan besar
dalam budaya yang membuatnya tak bisa bersikap adil sejak awal bernapas, bahkan untuk
dirinya sendiri. Materi (jasadiyah)-nya terlalu dominan sehingga terkadang
membuat mereka lupa sisi immateri (ruhaniyah) yang mereka miliki. (Barangkali) di
titik inilah urgensi pesan Tuhan untuk tak terburu-buru mendaku ‘beriman’ kala
Arab Badui datang kepada nabi untuk mendeklarasikan imannya. Iman memasuki bagian terdalam kemanusiaan melahirkan kata-kata baik (qaulan hasanan) dan kerja-keja kebajikan (amalan shalihan). Mengakui kebenaran
tak otomatis menjadi benar.
Bukankah kita seringkali menjadi bagian orang yang
mengatakan ‘tak memilih untuk berteman’, tapi di saat yang sama menolak
berteman dengan orang yang kita nilai jahat, dekil, jorok, dan bodoh. Mengaku
bangga dengan perbedaan, tetapi tak jarang uring-uringan dengan yang kita sebut
‘lain’.
Nyaris sulit memperlakukan the other (yang beda) menjadi togheter,
sebagaimana kita memperlakukan bibir atas dan bibir bawah, tangan kanan dan
tangan kiri sebagai yang menggenapi.
Di mana kita bisa menemukan kehidupan, ‘orang-orang
baik’ berkelas sudra bisa duduk di barisan yang sama dengan kaum brahmana?
Di sebuah jamuan pesta, meja dan kursi mewah di barisan depan hanya diperuntukkan untuk tamu kehormatan, mereka yang memiliki jabatan dan materi berlimpah. Kehormatan ukurannya adalah jabatan dan materi, bukan kebaikan.
Meski pejabatnya koruptor dan orang kayanya adalah lintah darat, kursi kehormatan selalu ada buat mereka. Hingga tempat-tempat yang disucikan Tuhan pun, pejabat selalu punya cara mendapatkan ‘kavlingan’ (tempat). Saat hari raya, lihatlah saf terdepan yang telah dipatok untuk tempat duduk para ‘pejabat’, tak peduli mereka datang paling akhir.
Berbeda dengan orang miskin dan tak memiliki jabatan.
Wajarlah Mahatma Ghandi meneriakkan kemiskinan sebagai kekerasan paling buruk.
Orang-orang miskin telah mendapatkan kekerasan sejak dalam pikiran.
Puja-puji tak cukup memberi mereka kelayakan hidup.
Ribuan TKI yang dielu-elukan sebagai pahlawan devisa, toh akhirnya sanjungan tak kunjung hadir mengangkat
harkat dan martabat mereka, kecuali mereka kembali sebagai ‘orang kaya baru’, pasukan
kuning dipuji sebagai pahlawan kebersihan dan disebut paling berjasa dalam penghargaan
adipura, tak otomatis membuat mereka dihormati kecuali mereka naik kasta
menjadi bos rongsokan yang kebetulan terpilih menjadi pejabat penting.
Jadi, sebagai manusia yang punya kecenderungan terhadap kebaikan dan kebenaran, mulailah mengerjakan kata-kata. Genapi kemanusiaanmu dengan bekerja pada ruang materi dan immateri, berikan porsi yang adil pada jasad dan ruh, pada hati, akal dan indera.
Keragaman itu menggenapi,
jika ada sepotong yang dianggap tak penting lalu dibuang, maka ia akan membuat
cacat! Semisal tangan kiri, meski seringkali digunakan menuntaskan
pekerjaan-pekerjaan ‘jorok’, tangan kiri tetaplah penting. Tak percaya, cobalah
potong satu jari di tangan kirimu, maka kamu akan dianggap sebagai ‘manusia
yang cacat’.
Artinya, menegasikan sekecil apa pun unsur perbedaan
adalah ‘kemanusiaan cacat’. Mengagungkan kata-kata dan menihilkan tindakan, juga bagian hidup yang cacat!
0 Comments:
Posting Komentar