Rahmatul Ummah
-
Setiap manusia memiliki kecenderungan terhadap kebajikan dan kebenaran universal (hanif). Kebajikan dan kebenaran universal adalah kebajikan dan kebenaran yang diakui secara umum, yang tak satu pun orang berselisih tentang kebajikan dan kebenaran itu, terlepas apa pun suku bangsa, agama, atau warna kulitnya. Sebutlah misalnya, jujur dan adil, peduli dan cinta, dan rupa-rupa kebajikan yang lain.
Sebagai kecenderungan
manusia umumnya, maka hampir bisa dipastikan tak ada satu pun manusia yang tak
menyukai disebut baik dan benar, atau sebaliknya dinilai pembohong, lalim dan
jahat. Semua orang ingin diakui sebagai orang baik.
Kecenderungan terhadap
kebajikan dan kebenaran, menjadikan setiap orang berusaha menampilkan sikap
dan ucap agar terlihat dan terdengar baik. Namun, sayangnya kebanyakan orang
terjebak hanya pada keinginan 'terlihat' dan 'terdengar' baik saja, tapi
tak sungguh-sunguh berusaha menjadi orang baik.
Keinginan terlihat dan
terdengar baik itulah yang disebut pencitraan. Pencitraan, dalam doktrin agama
(baca; Islam) identik dengan perilaku riya' (ingin dilihat)
dan sum'ah (ingin didengar) yang dilarang, bahkan
dikategorikan oleh Nabi sebagai syirkul ashgar (kesyirikan
kecil), sebuah tindakan menagih simpati manusia. sehingga orientasi amalnya
tidak lagi bertujuan menyembah Tuhan semata.
Tingginya tingkat
kebutuhan terhadap pengakuan baik dari orang lain, membuat banyak orang rela membeli
‘cover’ kebaikan. Ironisnya, ada yang rela merendahkan orang lain hanya untuk
diakui tinggi, menyebut orang lain goblok, agar terlihat pintar, mengatakan
kelompok lain intoleran hanya untuk diakui toleran, bahkan tak jarang
'berpura-pura' merendah hanya untuk sekadar butuh pengukuhan memiliki
ketinggian pekerti.
Tindakan seolah-olah
baik ini, pada akhirnya justru menjadikan banyak penjahat dalam rupa yang lain.
Ia terjebaik dalam kebaikan manipulatif dan penuh rekayasa. Padahal, menurut
Imam Ghazali, kebaikan semestinya menjadi tabiat (melekat), bukan rekayasa
pikiran.
Terhadap fenomena
seperti ini Fukuyuma menyebutnya dalam The End of History and The Last
Man, sebagai realitas sosial yang semu, realitas yang seolah-olah ,
seolah-olah demokratis, seolah-olah partisipatif, seolah-olah sejahtera,
seolah-olah maju dan modern tetapi isinya kropos dan kosong.
Jean
Baudrillard dalam buku Galaksi Simulacra mengistilahkannya sebagai
"all that is real becomes simulation”, semua yang nyata adalah
simulasi, orang tak lagi bisa memilih dan memilah mana lebih penting bayangan dan
sosok sesungguhnya. Milan Kundera menyebut jamannya sebagai era imagology,
era kemenangan citra-citra. Di mana produsen budaya citra telah berhasil
menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak
konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut disebarkan ke
berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah.
Dunia pencitraan,
mereduksi kesejatian. Meringkus realitas dunia dan menampilkan realitas citra
dunia, mengubah realitas kehidupan menjadi realitas citra kehidupan. Terdapat
proses reduksi subyek manusia ke dalam sebuah bingkai nihilisme,
yakni menjebak manusia di dalam subyektivitas palsu, ia terasing dari diri yang
sesungguhnya (alienation). Dalam istilah Susan Sontag, manusia seperti
ini lebih memilih bayangan (citra) ketimbang sosok nyata (benda), salinan (copy)
daripada asli, representasi ketimbang realitas, penampakan ketimbang eksistensi
(being).
Pencitraan memang sukses
mendistorsi relasi antara citra dan realitas, citra selalu hadir sebagai
upaya framing (pembingkaian), membingkai perilaku yang
pura-pura, semu dan penuh kepalsuan, sekaligus meminggirkan (exclusion)
orisinalitas dan kesejatian manusia, dan ironisnya manusia yang gandrung dan
cenderung kepada kebaikan, kepada keaslian, justeru terjebak atau bahkan
menjebakkan diri dalam framing kepalsuan citra tersebut.
Realitas hadir dalam
ironi yang memilukan. Ada banyak orang-orang yang lebih percaya diri mengenakan
topeng daripada wajah aslinya, hidup dalam imajinasi-imajinasi palsu dan
simbol-simbol.
Maka, menjadi penting kembali berefleksi mengajak setiap diri kita untuk kembali pada keaslian watak kemanusiaan yang gandrung dan cenderung pada kebajikan universal, manusia yang pada dasarnya lebih menyenangi kesejatian daripada kepalsuan. Penting untuk membangun kesadaran kemanusiaan yang condong mencintai keramahan daripada kemarahan, belas kasih daripada berselisih, keragaman daripada keseragaman yang monoton, dan saling menghargai daripada saling mencederai.
Bahwa apa pun, yang ingin ‘dilihat’ baik bukanlah kebaikan. Orang yang ingin dicitrakan baik, bukan orang baik. Kebaikan tak butuh pamrih.
0 Comments:
Posting Komentar