Rahmatul Ummah
-
Setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan, melewati banyak
proses politik dan kepentingan, akhirnya pemilihan kepala daerah tetap
diserahkan kepada rakyat, pemilihan kepala daerah secara langsung. Drama
panjang tersebut berakhir setelah disahkannya UU No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota
Meski demikian, ada beberapa catatan yang semestinya dipertahankan
tapi justeru dihapus, salah satunya adalah pasal tentang uji publik calon kepala
daerah, konsep uji publik ini sebenarnya penting untuk terus menerus dimatangkan
untuk menghadang otoritas yang sewenang-wenang dari elit partai politik dalam
menetapkan calon kepala daerah, menjadi lazim dipertontonkan setiap menjelang
Pilkada, penetapan calon harus mendapat restu pengurus pusat parpol dan mengabaikan
aspirasi rakyat di tingkat lokal.
Reformasi dan penerapan otonomi daerah yang diharapkan mampu
mengikis habis hegemoni pusat dan pengaruh kekuasaan negara selama masa
pemerintahan Orde Baru di Indonesia yang sangat dominan, malah terjadi sebaliknya,
otonomi daerah menjadi lahan desentralisasi korupsi, yang melahirkan para
kepala daerah yang lalim.
Demokrasi lokal sejatinya berkaitan erat dengan akuntabilitas,
kompetisi, keterlibatan, dan tinggi rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak
dasar bagi pemilih di daerah. Sebagai konsekuensi paska pelaksanaan sistem
demokrasi prosedural lewat Pilkada adalah bagaimana berdemokrasi tak hanya
sebatas memilih gubernur, bupati/walikota dan wakilnya lalu selesai.
Namun realitas demokrasi lokal, yang semakin menguatkan oligarki
elit parpol serta aturan-aturan yang dibuat memihak kepada kekuasaan parpol
yang terpusat, berakibat pada semakin tumbuh suburnya praktik-praktik yang
justeru mencederai semangat penguatan demokrasi di tingkat lokal, seperti
praktik nepotisme dan transaksional di kalangan elit dengan dalih mahar politik
untuk operasional “perahu politik” pengusung.
Sentralisasi Parpol Vs Demokrasi Lokal
Sejak diberlakukannya Pilkada langsung pertama kali pertengahan
tahun 2005, kecenderungan yang terjadi dalam tubuh partai-partai politik di
Indonesia di era reformasi justru terkesan memunggungi semangatdesentralisasi,
terutama dalam penentuan calon-calon yang hendak mengikuti pemilihan kepala daerah,
meskipun melalui rentetan panjang survei dan seleksi tim, tetap saja calon yang
ditetapkan untuk diusung oleh parpol adalah mereka yang memiliki cukup materi
sebagai mahar dan memiliki akses ke pengurus pusat parpol, sehingga survei yang
dilakukan tidak lebih dari sekedar rekayasa dan kamuflase.
Kecenderungan ini yang juga menyuburkan praktik nepotisme dan
transaksional di kalangan elit partai politik di Indonesia sampai sekarang,
baik dalam penempatan pengurus di tingkat parpol, penetapan calon legislatif
maupun penentuan calon yang hendak maju dalam Pilkada.
Bukan rahasia lagi, untuk bisa menjadi ketua partai politik di
tingkat daerah, harus punya kedekatan dengan elit politik di pusat. Begitu juga
untuk menjadi anggota pengurus parpol di tingkat daerah itu, tentu harus punya
kedekatan dengan ketua partai daerah.
Mandeknya proses rekuitmen dan pengkaderan pimpinan partai
mengakibatkan parpol-parpol mencari calon di luar kader untuk diusung dalam
Pilkada, dan akhirnya momen Pilkada itu disalahartikan dengan menggunakannya sebagai
lahan mencari pendapatan, melalui calon eksternal yang memiliki materi cukup
untuk membeli “perahu” parpol pengusung, dengan harga yang telah ditetapkan dan
disepakati.
Kebijakan partai politik yang masih sentralistik tidak akan pernah
sejalan dengan semangat otonomi daerah. Institusi partai-partai di daerah hanya
berperan sebagai replikasi kepentingan dari elit partai di pusat. Dalam konteks
ini, calon kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyat bukanlah orang yang
berasal dari bawah, karena calonnya dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai
di daerah biasanya direduksi dengan surat rekomendasi berupa ‘titipan’
nama-nama calon oleh elit partai di tingkat pusat.
Pilkada diharapkan menjadi salah satu pilar utama demokrasi lokal
guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan
menempatkan rakyat sebagai the king maker. Melalui pilkada, diharapkan
bisa dihasilkan output pemimpin eksekutif lokal yang mewakili preferensi
mayoritas masyarakat lokal. Pilkada juga diharapkan menghasilkan outcome berupa
reformasi kultur, yang secara apik mengimbangi proses transisi kepemimpinan
tersebut. Singkatnya, pilkada mesti menjadi entry point untuk melakukan
"bedah rumah" birokrasi lokal.
Disinilah pentingnya tim uji publik independen untuk memberikan
rekomendasi calon kepala kepada parpol, sebagai bahan pertimbangan untuk
diusung sehingga dominasi elit parpol di tingkat pusat bisa diminimalisir. Kuatnya
cengkraman oligarki elit pusat partai politik sebagaimana disinyalir Robert
Michels tentang hukum besi oligarki (iron low of oligarchy), bahwa di
setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai oleh segelintir
elit.
Pola oligarki dan sentralistik partai politik ini, sulit untuk
membuka ruang kebebasan bagi arus bawah. Otonomi sistem kepartaian tidak
terjadi dan menjadi bumerang baru bagi semangat otonomi daerah, struktur
organisasi partai politik yang sangat sentralistik ini ironinya justeru
dikonstruksi dalam bentuk pemberian kewenangan sentral oleh undang-undang
partai politik.
Akibatnya, penetapan calon kepala daerah sangat bergantung kepada
kehendak pusat, karena struktur partai yang sentralistis juga memiliki
konsekuensi ketundukan mutlak pengurus parpol di tingkat bawah kepada pengurus
di tingkat yang lebih atas. Pengurus di tingkat bawah (daerah) yang berani
berbeda dalam penentuan calon kepala daerah, bahkan dalam hal apapun dengan
pengurus di tingkat yang lebih tinggi akan dikenai sanksi, bahkan dipecat
sebagai pengurus atau anggota partai politik.
0 Comments:
Posting Komentar